[]  Demo mahasiswa yang marak di banyak sekali daerah hari ini di Bandung, Makasar, Jakarta, Yogyakarta, Malang,  Semarang, Gorontalo dan lainnya meski berbeda skala mengatakan ada kebijakan pemerintah yang keliru dan kronis. Muaranya  adalah ketidakpuasan pada kepemimpinan Presiden Jokowi yang dinilai tak peka dengan perasaan rakyat, mengedepankan kepentingan sepihak baik pemerintah, pengusaha, partai, atau elit tertentu.

Awalnya banyak pertanyaan terhadap keseriusan aksi mahasiswa. Ada yang menyatakan disain pemerintah sendiri, bayaran, atau klik internal dilingkaran kekuasaan. Akan tetapi sekali mahasiswa bergerak dengan info kebijakan keliru yang sama, maka rangkaian terus bersambung dan keseriusan pun semakin terbukti. Mahasiswa ternyata tidak bermain-main. Jokowi pun melakukan rapat darurat.

Masalah perundang-undangan mirip revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU P-KS, RUU Pertanahan, dan lainnya yang jadi fokus aksi. Tapi itu bukan pengkritisan hukum semata melainkan aksi politik. Moral politik tepatnya. Hal ini disebabkan pemerintah telah menjadikan hukum sebagai kepanjangan tangan atau alat politik. Rezim Jokowi telah memperalat hukum dan penegak hukum untuk melestarikan kekuasaan. Rakyat dan tentunya mahasiswa merasakan hal itu. Perekayasaan biasanya berhasil untuk satu atau dua waktu tapi tak pernah bisa sukses selamanya. Momen aksi masif pun akan tiba pada waktunya.

Dengan rapat mendadak Jokowi bersama menteri-menteri tertentu yang menurut Moeldoko menyikapi demo demo tersebut, maka kondisi sebenarnya serius. Ada kekhawatiran aksi semakin meluas dan tentu tak bisa dikendalikan lagi. Seperti yang tercatat dalam memori sejarah aksi berkesinambungan bisa menjatuhkan kekuasaan. Entah pilihan sikap apa yang akan diambil menghentikan proses pembahasan RUU, meminta dukungan pimpinan kampus, atau konsolidasi dan tindakan tegas pegawanegeri keamanan. Semua opsi berkonsekuensi.

Nampaknya dari perjalanan kekuasaan menjelang pelantikan  20 Oktober Jokowi tengah menginjak watu atau tersandung watu atau pula pening dengan langkah yang terhuyung huyung. Sepatu semakin kotor dan hilang keseimbangan. Lampu hijau bermetamorfosis kuning. Berdebar karena sebentar lagi bisa menjadi lampu merah. Tagar turunkan Jokowi pun semakin menjadi topik dengan animo menaik.

Jokowi tidak punya reputasi berkemampuan tinggi mengatasi masalah. Ia selalu menjadi figur yang "safety first". Mengeles. Hampir tak terang pola pengambilan keputusan dalam mencari solusi. Kadang adagiumnya adalah merampungkan dilema dengan masalah. Akibatnya dilema menjadi bertumpuk. Akhir dari tumpukan adalah pembusukan.

Sikap politik peminggiran ulama dan umat Islam, pelemahan TNI, pengurungan mahasiswa, serta penunggangan pegawanegeri penegak hukum menjadi belahan dari pembusukan kekuasaan tersebut. Nah dikala elemen strategis  bangsa merasa semakin dikecewakan maka yang terjadi adalah perlawanan.
Mahasiswa kini mengatakan kebersamaan perasaan dengan rakyat. Berani unjuk diri, unjuk aksi, dan unjuk jiwa berani.

Jika gaung mosi tidak percaya membesar maka lampu kuning Jokowi bisa cepat berubah jadi lampu merah.

Bandung, 23 September 2019

Penulis: M. Rizal Fadhillah

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top