[]  Perubahan UU KPK yang hanya tertuju pada beberapa pasal berhasil dilakukan. Perubahan ini melewati perdebatan yang begitu riuh ditengah masyarakat. Perdebatan yang tersaji secara empiris terlihat memola dalam dua kutub besar; sepakat dan tidak setuju. Cukup riuh. Ditengah keriuhan itulah perubahan UU KPK disahkan.

Demokrasi yang sisi empirisnya tak selalu jelas, selain membingungkan, terlihat dalam keriuhan gelombang politik perubahan UU ini. Transparansi dan akuntabilitas yang menjadi dua sisi hebat demokrasi, yang hendak dipromosikan para perencana perubahan UU ini, terlihat menjadi hal asing. Keasingannya dibingkai rapi dalam tema “melemahkan” KPK. Itu karena KPK diawasi Badan Pengawas dan KPK diberi wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sebagai konsep yang selalu hebat di alam pikir, bukan empiris, demokrasi memungkinkan pandangan baru apa saja disajikan. Ketidakjelasan konsep dasar demokrasi, dalam kenyataannya memungkinkan munculnya ide-ide mengagumkan untuk urusan tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada waktu yang lain dalam urusan yang lain ide-ide hebat itu terlihat abstrak dan berbahaya.

Rancu

Itu sebabnya pengagum demokrasi sekalipun sanggup menyampaikan keasingannya dari kehebatan demokrasi itu sendiri. Akuntabilitas dan transparansi yang hanya sanggup dikenali melalui pemaknaan atas gagasan dibalik munculnya demokrasi, untuk alasan misalnya korupsi telah menggurita, dibolehkan untuk dikubur. Kelirukah? Tidak. Tetapi cukupkah argumen itu? Tidak juga. Lalu apa?

Pada titik ini muncul kebutuhan mengenali dua perspektif besar dari dua tokoh besar. Aristoteles memungkinkan demokrasi dikurangi derajatnya, bila kemiskinan merajalela. Tujuannya untuk memungkinkan penggunaan cara tertentu memerangi kemiskinan itu. Tetapi James Madison di sisi lain tak searah dengannya. Bagi James Madison bila demokrasi memukul orang kaya, maka demokrasi itulah yang harus dikurangi.

Di jalan mana diantara dua sudut perspektif itu yang harus dilalui? Aristoteles atau Madison? Dua-duanya memiliki sisi menakutkan. Memperbesar bobot demokrasi sama dengan membenturkan diri pada ketidakjelasan demokrasi itu sendiri. Ketidakjelasan itu memungkinkan terciptanya anarki. Menyuntikkan segala macam ide, apapun kreatifnya, sebanyak-banyak ke dalam demokrasi sama dengan membiarkan ketidakjelasan mendatangi setiap orang pada setiap waktu.     

Fanatisme, selalu begitu, membutakan. Tetapi selalu responsive juga sama, membutakan. Hebatnya dua sisi yang saling menyangkal sama-sama mendapatkan kawasan dalam demokrasi secara umum. Itu sebabnya setiap gagasan tidak sanggup begitu saja ditolak, tetapi tidak sanggup juga serta-merta dianggap oke. Semua sisi –konseptual dan konsekuensi empiris- dalam gagasan itu, mau tidak mau harus diperiksa.

Dewaan Pengawas misalnya akan terlihat pada level konspetual sebagai sesuatu yang tak terelakan dalam demokrasi. Dewas hadir  untuk alasan akuntabilitas dan transparansi. Akuntabilitas dan transparansi diandalkan demokrasi melawan penyalah-gunaan wewenang. Akuntabilitas dan transparansi diandalkan demokrasi sebagai cara membatasi wewenang. Setidak-tidaknya penggunaan wewenang itu sanggup dicek.

Pada dimensi politik akuntabilitas dan transparansi disuguhkan sebagai cara mengamankan masa depan demokrasi itu sendiri. Bukan karena Jasson Brennan, penulis buku Againts Democracy meragukan keunggulan empiris dan gampang demokrasi, tetapi harus diakui dimensi empiris akuntabilitas dan transparansi untuk sejumlah urusan terlihat kabur dan membingungkan.

Itu karena transparansi dan akuntabilitas, sama dengan demokrasi itu sendiri memiliki sejumlah sisi yang tidak jelas. Ketidakjelasan itu memang tidak menghancurkan, tetapi akuntabilitas dan transparansi yang tak didefenisikan secara baik, rigid, tentu terukur, justru memproduksi kegelapan. Secara empiris kegelapan lahir dan tercipta dari ketidaktegasan rumusan hukum. Ketidakpastian aturan justru mengaburkan dan mengakibatkan akuntabilitas dan transparansi terlihat berbahaya.

Penyakit Hukum 

Penyakit aturan paling alamiah tidak pernah lain selain rumusannya yang tidak pernah sederhana, juga bahasa yang bersayap-sayap. Penyakit itu pada level yang sangat faktual terlihat pada rumusan batas waktu suatu duduk kasus yang sanggup diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sepintas rumusan yang beredar menyatakan bahwa SP3 “dapat diterbitkan” setelah sebuah duduk kasus mengendap selama dua tahun.

Ketdakpastian aturan bersumber dari “kata-kata” dalam “ayat” atau “huruf”  pasal. Tidak lebih. Tidak diluar itu juga. Apa sifat aturan dari kata “dapat” dalam rumusan pasal itu? Kata “dapat” tidak punya arti dan makna lain selain tidak wajib, tidak imperatif.

Konsekuensinya sekalipun satu duduk kasus telah mandeg selama dua tahun, dan penyidik belum juga sanggup menyelesaikan penyidikannya, tidak serta-merta menjadi dasar diterbitkannya SP3.

Tetapi disisi lain bila duduk kasus itu telah disidik selama dua tahun dan tidak juga menemui kejelasan, dan penyidik “mau” maka penyidik berhak menerbitkan SP3. Normanya yakni duduk kasus harus mandeg, dan mandegnya harus dua tahun. Ini imperatif atau menjadi alasannya yakni sah timbulnya hak menerbitkan SP3. Sebaliknya, sekalipun norma itu telah terpenuhi – sudah mandeg selama dua tahun-  tetapi penyidik tidak mau menerbitkan SP3, maka perilaku penyidik itu sah.

Sah karena aturan membenarkannya melalui kata “dapat” itu. Rumusan ini memberi penyidik hak memilih tindakan hukum. Hak itu berupa menerbitkan atau tidak menerbitkan SP3. Penyidik dalam duduk kasus ini tidak memilih dasar hukum, melainkan hanya memilih tindakan aturan yang hendak diambil. Karena aturan memberi pilihan bebas pada penyidik, maka tindakan aturan apapun yang diambil penyidik harus diterima sebagai tindakan aturan yang sah.

Penyakit alamiah aturan ini juga terlihat pada rumusan mengenai wewenang Badan Pengawas KPK. Badan ini sejauh yang diketahui diberi wewenang; (a) memberi izin penyadapan. (b) memberi izin penyitaan dan penggeledahan. (c) mengawasi perilaku penyidik, dan (d) mengawasi perilaku pegawai. Rumusan ini terang mengidap kelemahan. 

Sejauh ini aturan positif, khusus Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur tata cara penyadapan. Ini berbeda dengan penyitaan dan penggeledahan. KUHAP cukup terang mengatur dua informasi ini. Disini letak masalahnya. Masalahnya yakni apakah penggeledahan dan penyitaan menurut UU KPK yang baru saja diubah itu sah hanya dengan dibekali izin Badan Pengawas? Sepintas jawabannya positif, sah.

Argumennya kurang lebih begini, UU KPK  merupakan UU khusus, sehingga aturan yang terkandung di dalamnya juga bersifat khusus. Di sisi lain KUHAP merupakan aturan yang bersifat umum. Dalam ilmu aturan dikenal asas dalam hal terdapat dua undang-undang yang satu bersifat khusus dan yang satu lagi bersifat umum, dan kedua UU ini mengatur hal yang sama – lex specialis derogate legi negerali – maka aturan khususlah yang berlaku. Ini sering disederhanakan menjadi aturan khusus mengenyampingkan aturan umum. 

Itukah yang dikehendaki oleh pembentuk UU ini? Bila itulah yang dikehendaki pembentuk UU ini, maka penyitaan dan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik KPK tidak lagi memerlukan izin dan atau persetujuan pengadilan. Bila ini yang dikehendaki pembentuk UU, maka keuntungannya yakni terjadi penyingkatan proses penyidikan. Praktis seluruh proses penyidikan sepenuhnya ditentukan sendiri oleh KPK.

Tetapi pasal itu tidak sanggup diinterpretasi dengan jenis interpretasi apapun yang tersedia dalam ilmu hukum, yang memunculkan aturan berupa SPDP hanya sanggup diterbitkan penyidik setelah lebih dahulu disetujui atau mendapatkan persetujuan  Dewan Pengawas. Tidak. Penggeledahan dan penyitaan sama sekali tidak memiliki sifat sebagai  dimulainya penyidikan.

Penggeledahan dan penyitaan yakni satu jenis alat paksa yang hanya sanggup digunakan bila proses duduk kasus telah berada pada level penyidikan. Kedua alat paksa ini digunakan untuk menemukan fakta, bukti – hard evidence- dalam menguatan derajat pembuktian duduk kasus itu. Itu saja. Dengan demikian, penyidik tidak, dalam makna aturan memerlukan persetujuan atau izin Dewan Pengawas untuk memulai penyidikan. Tidak.
Tetapi apapun itu, hal-hal yang dikemukakan di atas mengambarkan sifat alamiah aturan yakni selalu tak cukup jelas. Hal-hal yang dikemukakan di atas juga mengambarkan satu hal; penegakan aturan sepenuhnya merupakan urusan interpretasi hukum. Interpretasi hukum, karena itu menjadi inti dalam urusan penegakan hukum.

Di atas semua urusan penyakit alamiah aturan yang dikemukakan di atas, satu hal yang tak meragukan sedikitpun yakni orang baik selalu tahu bahwa aturan tidak bakal bengkok di tangan orang baik. Moralitas kebaikannya menjadi perisai dirinya menegakan hukum. Moralitas baiknya membawa dirinya tahu membengkokan aturan yakni pekerjaan orang jahat, siapapun mereka dan di kawasan manapun mereka bekerja.

Penulis: Margarito Kamis

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top